Memakamkan Rindu•

pemakaman.jpg

Sejatinya, aku bukanlah perempuan yang pandai berteman dengan rindu. Bagiku Rindu padamu tak pernah sederhana.   Lebih rumit daripada perintah Ayah untuk menguraikan helai-helai benang layangan adik yang kusut, lebih sulit dari pecahan soal uji kolmogorov-smirnov, juga lebih rewel daripada katak-katak penanti hujan di samping jendela kamarku. Entahlah, tapi rindu jadi begitu istimewa sejak kamu titipkan padaku, beberapa saat lalu.

Kata orang-orang, rindu harus disederhanakan. Meskipun harus cari caranya sampai ke bulan, rindu harus jadi sederhana. Kalau tak bisa jadi sederhana, maka rindu harus merelakan diri untuk kubunuh. Tapi Bagaimanalah ya, sayangnya aku adalah perempuan yang tak tegaan. Kusembunyikan rindu di ruang-ruang sempit dekat katup jantung agar ia tak bisa ditemukan orang. Pintunya kusekat dengan baja, terali besi, dan satu ikat tambang. Rindu pasti sedang menangis sekarang. Ah biarkan saja, daripada ia keluar lalu dibunuh orang-orang.

Lihat, kan. Rindu selalu kusayang meski merepotkan. Sebab ia yang paling setia duduk di sampingku saat sepi-sepi malam datang. Aku bahkan menangis saat ia jatuh sakit. Kasihan sekali, mungkin rindu terlalu lelah menetap bersamaku. Kubilang rindu tak boleh pergi sebelum kamu datang. Terkadang air matanya meratap-ratap. Katanya, aku adalah gadis yang terlalu menyedihkan.

“Harusnya kamu bisa bangkit, Nis. Ada banyak hal yang lebih berguna daripada terisak-isak memelihara rindu milik seorang lelaki yang belum pasti.”

“Rindu nggak sayang lagi sama aku? Atau aku yang nggak pantas menunggu?”

“Bukan nggak sayang lagi, tapi rasanya menyedihkan sekali melihatmu begini. Kalau dia datang lamar kamu sekarang, kamu udah siap?”

“…”

“Kalau belum bisa jawab, jangan sedih-sedih lagi mulai sekarang. Persiapkan dirimu dulu sampai masanya datang. Kamu pengen kasih yang terbaik buat dia, kan. Lagipun sebenarnya Nis, aku adalah rindu prematur yang belum seharusnya dilahirkan. Kalau aku tak segera pergi, lama-lama kamu yang bisa mati kubunuh. Lahirkanlah aku kembali saat kamu sudah siap nanti.”

Rindu jadi lebih sering merengek-rengek sejak malam itu. Suhunya makin hari makin tinggi. Aku tak mau rindu mati atau menjadi mati karena rindu. Aku paksakan mengerti sekarang, rindu yang lahir prematur memang harus dilepaskan. Ia pasti akan jadi lebih baik jika dilahirkan di saat yang tepat nanti.

Tapi akhirnya, aku kalah.

Satu minggu kemudian rindu mati. Rindu yang dulu selalu mau repot kutitipkan salam agar datang ke mimpimu malam-malam kini telah tiada. Makamnya kusemai cinta setiap hari. Sebelum pergi, rindu sempat menitipkan selembar surat. Katanya, “Rindukanlah Dia agar yang kamu tunggu segera datang, Nis.”

Air mataku menetes. Aku melahirkan rindu. Lagi.

Untuknya?

Bukan, ini untuk Yang Maha Kuasa.

Leave a comment