PETRICHOR

“Memangnya, apa yang kaucintai dari petrichor?” tanyaku di suatu senja yang hujan. Di bawah angin-angin yang bertiup sepanjang selasar.

“Bukan cinta, Putri. Petrichor bukannya Putri sepertimu. Ia sebuah senyawa aromatik yang terbentuk dari reaksi kimia minyak alami yang direlakan keluar dari rahim tanaman, kemudian bersatu di udara bersama geosmin yang dilahirkan oleh bakteri di dalam tanah. Aroma itulah yang selalu semerbak setiap hujan turun membasahi tanah. Aroma khas hujan.”

Aku sedang berusaha menyesapi kata-katanya. Mencoba mencari aroma petrichor di antara rintik-rintik yang turun pada tanah basah petang ini. Namun tak ada. Apakah hanya orang-orang tertentu yang diizinkan mengecup aroma petrichor?

“Putri tahu? Petrichor selalu berhasil mengingatkanku pada kenangan-kenangan. Saat subuh-subuh ia datang di antara terali jendela kamar, saat petang-petang ia merebak bersamaan dengan aroma ikan kembung goreng di dapur ibu. Petrichor selalu manis.” katanya lagi begitu. ia selalu bersemangat setiap kali bercerita tentang petrichor. Hari ini, sudah hampir lima belas kali siaran langsungnya digelar.

“Jadi, apa untungnya cinta pada petrichor?”

“Ah, ya. Petrichor membuatku menyadari bahwa kebahagiaan sesederhana menikmati tetes-tetes hujan yang turun. Meresapi bahwa rahman dan rahimNya masih diturunkan begitu deras. Namun kita yang sering lupa bersyukur.”

“Jadi, kau lebih cinta kenangan, petrichor, atau aku?” 

Ia hanya tersenyum mendengar tanyaku yang tak habis-habis.

“Aku … banyak jatuhkan cinta pada kenangan bersamamu yang dibersamai aroma petrichor.”

Kali ini, ia benarlah berhasil buatku berhenti bertanya.

Di bawah langit hujan, Sya’ban 1439H.

Leave a comment