REVIEW NOVEL AMPERA RUNTUH 2020 –RIZA PAHLEVI

Judul : Ampera Runtuh 2020

Penulis : Riza Pahlevi

Penerbit : Indonesian Creative Award (ICA)

Bissmillahirrahmanirrahim.
Alhamdulillah, qadarullah beruntungnya saya dapat membaca buku yang isinya sangat inspiratif ini. Ampera Runtuh 2020 ditulis oleh Riza Pahlevi, seorang pejuang dalam Pemerintahan Kota Palembang yang senantiasa ingin mewujudkan cintanya pada Ampera sebagai jantung Kota Palembang.

Buku ini bercerita perihal Jali si Anak ketek. Begitu teman-teman dan orang di sekitarnya biasa memanggil. Meskipun memiliki nama lengkap yang teramat apik, “Ghozali” namun ia lebih nyaman dipanggil sebagai Jali. Nama panggilan yang sederhana namun kaya arti sebab ayah dan ibunya lah yang memberi panggilan itu.

Jali adalah seorang anak tangguh yang tumbuh dalam kesederhanaan. Dibesarkan seorang diri oleh ibunya karena ayahnya meninggal sejak jali berusia 5 tahun, ia mencoba untuk mengerti meskipun berat. Kadang, bulir-bulir menumpuk di mata Jali kecil setiap kali melihat teman-teman sebayanya yang masih bisa bermain dengan sosok ayah. Jali selalu teringat masa-masa ayahnya masih hidup, ayah lah yang selalu memberi semangat agar Jali tumbuh menjadi anak laki-laki yang kuat kala dewasa nanti.

Setiap hari minggu, Jali juga rajin ikut membersihkan sungai musi yang belakangan ini banyak dikotori sampah. Kebetulan Pak walikota adalah orang yang tak segan turun langsung untuk ikut bergotong royong bersama warga. Jali senang sekali bisa ikut membersihkan sampah di sungai musi kecintaannya itu. Sungai yang memiliki banyak kenangan ketika ayahnya masih hidup. Sungai yang menyumbangkan ikan-ikan untuk dimasak ibu agar mereka bisa bertahan hidup ketika mereka tak memiliki apa-apa lagi untuk dimakan.

Kesulitan hidup yang sudah dijalani Jali sejak kecil mengajarkan Jali untuk bisa menjadi pribadi yang bermental kuat. Jali kecil sudah memikirkan bagaimana caranya mendapat uang. Kasih sayang ibunya dan didikan yang sederhana namun luar biasa menjadikan Jali seorang anak yang jujur, sopan, dan bijaksana.

Jali tidak pernah malu berjualan kantong plastik di pasar. Satu kantong plastik dijual seharga 500. Seringkali banyak orang yang kasihan dan memberinya uang lebih. Namun Jali yang bersifat jujur menolaknya dengan halus. Ia tidak ingin dicap sebagai peminta-minta. Sebuah prinsip yang sudah sangat jarang sekali ada di generasi muda masa kini. Meskipun kisah dalam novel ini hanya fiktif, namun pesan baiknya tetaplah patut untuk dicontoh dan diambil hikmahnya oleh generasi muda agar tumbuh menjadi pribadi yang berkelas kelak.

Pernah suatu hari, Jali berpamitan pada ibunya yang tergeletak sakit ketika hendak pergi berjualan kantong plastik pagi hari. Dari rumah, ia telah menengadahkan tangan berdoa pada Allah swt, “Ya Allah, tolong kasih rezeki buat Jali hari ini. Jali pengen beli nasi pindang patin kesukaan ibu yaAllah.”
Hati saya pun ikut terenyuh membaca doa jali. Betapa mulianya karakter Jali dideskripsikan oleh penulis.

Setelah berusaha menjual kantong plastiknya, perjuangan jali belumlah usai. Di tengah jalan, ia bertemu preman-preman yang punya kebiasan mengacaukan jalan. Preman itu mengambil uang jali dengan paksa. Jali sedih sekali. Akhirnya saat malam ia bertekad akan membantu mencuci piring di sebuah kedai pecel lele pinggir jalan, agar bisa mendapat nasi untuk ibunya yang sedang sakit di rumah.

Suatu hari, dalam tidurnya yang lelap di sebuah ketek karena kelelahan, Jali melihat Ampera yang tiba-tiba retak. Semakin lama retakannya semakin meluas. Kemudian dalam hitungan menit, Ampera runtuh berbongkah-bongkah. Semua orang terkejut. Jali menjerit. Jeritannya yang menggaung ke seluruh penjuru rumah membuat ibunya khawatir dan bergegas membangunkan Jali. Jali bangun dalam keadaan bingung. Ia masih tak habis pikir terhadap apa yang dilihatnya barusan.

Saat beranjak remaja, seperti yang dirasakan oleh teman-teman sebayanya. Jali juga merasakan betapa hatinya berbunga-bunga ketika melihat seorang gadis. Ia bertemu dengan seorang gadis berkhimar syar’i dan rupawan di Masjid Agung Kota Palembang. Hati jali terus berdebar tiapkali melihat sosok gadis itu,
namun sisi lain dalam dirinya berontak. Gadis itu tetaplah belun jadi siapa-siapa baginya. Tak pantas jali memiliki perasaan sehebat ini. Jali berdoa dalam hati pada Allah, apabila gadis itu memang baik untuknya, ia memohon kiranya Allah akan mempertemukan mereka lagi di waktu dan kesempatan yang tepat.

Memang benarlah, terkadang untuk memperjelas sesuatu kita harus menunggu waktu dan kesempatan yang tepat. Apabila salah satu dari dua hal tersebut belum siap, maka barangkali itulah yang menghambat rencana-rencana untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang kita harapkan. Bisa jadi saat ini waktunya tepat, namun kesempatannya belum tepat. Atau bisa jadi kesempatannya tepat, namun waktu yang kurang mendukung. Untuk menyelaraskan visi bersama seseorang, memang diperlukan suatu perjuangan.

Namun, sayangnya jodoh, rezeki, dan maut memang adalah hal yang paling tidak bisa kita tebak. Meskipun telah menjalani hari-hari penuh cerita manis,menjalani hari-hari dengan sederet impian bahwa mereka akan merancang Pionering ampera menjadi lebih indah lagi. Gadis cantik yang belakangan diketahui bernama Hafna itu tetiba menghilang tanpa kabar. Ia tetap menjauh meski akhir-akhir ini Jali sudah sering silaturahmi ke rumah bersama ayah ibunya. Jali kebingungan. Ia terus menelepon untuk menanyakan bagaimana kondisi hafna. Dan betapa terkejutnya Jali ketika mendapati bahwa Hafna telah diambil oleh Allah swt..

Jali menangis di pangkuan ibunya. Ibunya berusaha menenangkan. Ia mengerti betapa terpukulnya anak semata wayangnya itu.

Tanpa terasa, semakin dewasa usia Jali, kondisi kesehatan ibu juga semakin menurun. Tubuhnya yang renta membuat ibu Khadijah harus berjalan tertatih-tatih tiap kali ingin mengambil sesuatu. Ia terus sakit-sakitan.

Hingga puncaknya, ibunya menghembuskan nafas terakhir kala sedang sujud di atas sajadahnya. Jali begitu terpukul, kuliahnya terbengkalai, ia bahkan sempat ikut kelompok sesat dan sering menghindar dari teman-temannya.

Alhamdulillah, Allah berikan petunjuk terang pada Jali lewat sahabatnya yang begitu baik: Aziz. Aziz tak bosan dan tak henti mengingatkan Jali agar ia mau kembali Ke kehidupan semula. Jali kembali tersadar setelahnya. Ketika suatu subuh ia melewati masjid, dilihatnya kondisi masjid yang sangat ramai dipenuhi masyarakat. Keningnya berkerut terheran-teran. Setelah ditanya, ternyata subuh kali itu adalah jadwal kunjungan Pak walikota untuk safari subuh di masjid dekat rumah Jali. Jali tertegun. Ia merasa mendapat siraman air yang begitu sejuk dari ceramah-ceramah yang didengarnya pagi itu. Rasanya, hidayah dan kasih sayang allah mengalir begitu manis untuk Jali. Ia hanya sedang menutup mata selama ini, hingga tak bisa melihat hal-hal baik tersebut.

Setelah kembali sepenuhnya, Jali menjalani hidup dengan normal. Ia melanjutkan skripsinya yang tertunda, ia kembali bersikap sebagai remaja yang baik dan bertanggung jawab. Ia kembali menjadi Jali yang cerdas dan selalu bijaksana. Akhirnya, Jali berhasil lulus dengan pujian dan indeks prestasi tertinggi di universitas tempat ia menimba ilmu. Skripsinya yang membahas menngenai pionering ampera beserta maket yang dibuat juga menuai beragam pujian dari dosen-dosen penguji dan pembimbingnya.

Jali kini telah mengerti makna mimpinya dahulu, pesan ayahnya yang selalu terngiang dan Ampera yang Runtuh. Kata ayahnya, kejujuran dan keikhlasan mampu membuat suatu negara berjaya. Sebaliknya, negara akan hancur jika manusianya tidak jujur. Jika dianalogikan, anggaplah Ampera ini adalah lambang suatu negara, dan kejujuran serta keikhlasan masyarakat adalah kunci kokohnya Ampera tersebut. Jika kita ingin Ampera terus berdiri kokoh dan Palembang menjadi kota yang maju, maka keikhlasan dan kejujuran itu harus ditanamkan mulai saat ini di dalam jiwa masing-masing masyarakatnya.

Sebuah karya yang disusun begitu apik dalam kalimat-kalimat yang menyentuh. Saya seperti melihat sendiri betapa sedihnya Jali kecil saat ia berdoa ingin membelikan nasi pindang patin kesukaan ibunya yang sedang tergeletak sakit, sedang ia pun masih kecil dan hanya mampu berjualan kantong plastik dengan penghasilan sangat sedikit. Penulis mendeskripsikan adegan ini dengan sangat detail sehingga mampu menaikkan emosi pembaca.

Betapa malunya kita jika selama ini tidak bisa produktif dan masih banyak mengeluh karena kehidupan yang terasa kurang. Padahal di luar sana banyak saudara-saudara kita yang tetap punya semangat hidup tinggi untuk bisa berhasil sesulit apapun keadaan mereka.
Buku ini juga memotivasi agar kita tetap istiqomah berada di jalan yang lurus. Menginspirasi bahwa tidak ada proses baik yang sia-sia. Semuanya hanya tentang waktu dan perjuangan untuk selalu kuat. Selalunya, setelah hujan akan selalu ada pelangi manis yang akan datang.

Palembang, November 2018.

Memakamkan Penyesalan

img_20181112_121511856566081.jpg

Hari ini adalah malam ketujuh sejak Ibu pergi meninggalkan kami semua. Satu minggu pertama yang terasa amat menyedihkan. Bapak sampai jadi orang linglung dibuatnya. Jangankan makan, senyum pun tak pernah lagi terlihat dari lengkung bibirnya yang dulu selalu sumringah.

Ia memang menjadi seorang yang begitu terpukul oleh kejadian naas ini. Sepertinya tak ada cara yang bisa mengembalikan bahagianya. Aku disarankan untuk bertanya pada jangkrik yang selalu ribut malam-malam, pada sepeda reot yang selalu menemani ibu, bahkan pada tiap orang yang berkunjung datang, namun semuanya tetap saja diam.

Lelaki yang telah melayangkan nyawa ibu itu bernama Sumitro. Tadi Asih menyampaikan, ia memang berandalan yang sering mabuk di jalanan. Orang-orang bilang, mungkin ia tak sengaja menancapkan pisaunya saat bersamaan ibu datang dengan sepeda reot subuh-subuh itu. Tak sengaja apa?! Nyawa tetap saja nyawa. Aku benar-benar tak terima melihat adikku dan Bapak yang hampir gila karena ditinggal ibu. Lelaki itu tetap harus membayar semuanya!

“Sudah Nduk, ikhlas. Ibumu itu bisa ndak tenang kalau kamu terus-terusan begini.”

Bude Ratmi mengelus punggungku berpuluh kali. Tapi tak juga menenangkan.

“Ndak, bude! Nilam ndak ikhlas!”

Aku mengamuk sepanjang malam. Air mataku hampir kering dibuatnya. Suara-suara lalu lalang berbaur. Terakhir kali yang kuingat bude mendekap erat-erat saat pisau tajam tergenggam dalam telapak tanganku. Lalu semuanya gelap.

Jari-jariku meremas lebih kuat saku jaket yang tengah menempel di tubuh saat ini. Rasanya senang sekali bisa menyaksikan langsung jasad pembunuh ibu tergolek tanpa nyawa.Dengan pandangan menunduk, mataku memicing mengedarkan pandangan ke sekeliling. Beberapa orang tampak berbisik-bisik entah tentang apa. Beberapa lainnya ada yang menangis, termasuk seorang perempuan dengan rambut yang hampir seluruhnya putih.

Wanita tua itu begitu terisak-isak sejak pertama kali aku datang empat puluh lima menit lalu. Mukanya memerah. Beberapa ibu-ibu mengelus-elus punggugnya dan mengatakan kalimat sabar berulang kali. Kusentuh pelan pundak seorang gadis kecil di sebelahku. Kutanyakan siapa perempuan yang sedang terisak begitu hebat di ujung. Jantungku jadi berdegup lebih kencang tiba-tiba. Darah dalam arteriku rasanya membanjir dalam hitungan detik.

Bibir kecil itu mengatakan perempuan tua di pojok itu bernama Mbok Nah. Ia adalah ibu dari lelaki yang saat ini sedang terbujur kaku dihadapan kami. Biasanya, anak laki-laki semata wayangnya itu yang akan membawakan ubi rambat atau daun-daun sayur dari hutan yang bisa dimasak untuk makan sehari-hari. Tapi setelah anaknya pergi sekarang? Bagaimana ia bisa hidup?
Ruangan terang dengan suara riuh itu mendadak jadi begitu hening dalam duniaku, kemudian semuanya gelap. Gelap sekali.

.

.

Palembang,
Bulan Hujan 2018,

Perempuan yang Hatinya Belum Dikembalikan

9059168c54c4d7ee6bee09549ad1b3d41629485891.jpg

Pict cr by pinterest.

Siang ini jalanan kota lengang. ada beberapa angkutan umum kuning berlalu lalang, sisanya motor dan mobil yang sedang melaju ke tujuan masing-masing. Senangnya, Nila begitu menikmati suasana kali ini. Pohon-pohon di tepi jalan jadi lebih bermakna. Seperti membentuk kenangan bahwa gadis manis itu pernah melewatinya dengan perasaan membuncah di bulan-bulan akhir tahun.

Nila segera duduk setelah menaiki salah satu transportasi umum yang searah dengan rumahnya. Belum lama Nila menyusuri pohon-pohon sepanjang jalan, dering handphonenya berbunyi pelan. Sebuah pesan masuk dari seseorang yang akhir-akhir ini selalu ditunggu benar oleh gadis bermata bening itu.

“Dek, udah pulang ya? Hati-hati di jalan ya. Oh iya, kalau udah sampe, kabarin. Ada sesuatu yang mau kakak omongin.”

Nila mengalihkan lagi pandangannya ke kendaraan yang berlalu lalang di jalan. Ada sebersit perasaan aneh yang langsung melintas. Rasa berbunga-bunga, rasa senang karena diperhatikan, dan rasa bingung yang bercampur. Pasalnya, selama ini kabar-kabar yang ia ketahui Kak Arya memang memiliki teman dekat, tapi entah siapa.

“Kak Arya khawatir sama aku? Emang aku siapa?” gumamnya dalam hati.

Beberapa minggu terakhir ini, Nila memang memperhatikan perubahan intens atas sikap kakak seniornya di kampus itu. Arya jadi lebih sering berkirim pesan di whatsapp, lebih sering membuka topik pembicaraan setiap kali bertemu di forum, juga lebih sering menunjukkan bentuk kekhawatiran secara langsung. Nila tak pernah ambil peduli, awalnya. Tapi, perempuan tetaplah perempuan. Sekuat apapun perasaan kalian sebagai perempuan, kalau berada di posisi nila pasti benteng pertahanan itu akan terkikis juga sedikit demi sedikit. Kak Arya Pintar, ganteng, aktivis organisasi, eksekutor kampus, siapa sih yang tidak tertarik?

“Udah. Terimakasih Kak. Sesuatu apa?”
Message Sent.

Kendaraan yang membawa Nila berhenti di halte terakhir. Rumahnya sudah dekat, Nila hanya perlu jalan kaki tiga menit dari tempatnya berdiri saat ini. Setelah mengambil uang kembalian, Nila bergegas menyeberang jalan, ia ingin segera sampai di rumah, melanjutkan pesan yang biasanya akan berlanjut sampai belasan menit kemudian. Beberapa bisikan dalam dirinya mengatakan ini sesuatu yang salah. Tapi, sisi lainnya membisikkan lebih kuat perihal manisnya situasi ini dan kesempatan yang tak biasa. “Toh, aku juga cuma kirim pesan biasa kan?” ucapnya dalam hati. Kebiasaan yang rentan akan bisa tetap aman.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumussalam. Nila, udah pulang? Yuk masuk. Kakak masak sayur asem kesukaan kamu loh. Pasti udah laper kan, makan dulu yuk.”

Seorang gadis dengan wajah begitu antusias dan memakai khimar warna biru laut muncul dari balik pintu. Senyumnya mengembang begitu melihat Nila datang.

Nila tersenyum. Mata beningnya berbinar lagi. Sudah tiga tahun ia dan Kak Rena bersahabat. Kak Rena baik sekali. Ia selalu sabar, selalu mau mendengarkan setiap cerita Nila, selalu perhatian, selalu siap membantu. Nila merasa punya Kakak perempuan baru waktu pertama kali menginjakkan kaki di kota yang masih asing ini, tiga tahun lalu.

“Kak Rena nungguin Nila? Kok nggak makan duluan aja?” Nila bertanya sembari melepaskan sepatunya di kursi teras.

“Biar ada temennya, hehe. Kan kalau makan sama-sama rasanya lebih enak. Lagian kakak pasti bakal kangen makan bareng kalau udah jauh nanti. Oh iya, tadi ada paket buat kamu, ada di atas lemari kamar.”

“Dari siapa kak?” Kening Nila mengernyit saat melangkah ke kamar dan melihat kotak terbungkus rapi di atas lemarinya. Ia merasa tak memesan paket apapun seminggu terakhir ini.

Rena diam sebentar sebelum akhirnya menjawab. Raut mukanya berubah. “Dari Arya.”

Nila terkejut. “Bukan salah kirim?” Nila menatap lekat-lekat ke rena sembari duduk di atas kasur kamarnya.

Rena menggeleng, meyakinkan. “Bukan, buat kamu kok.”

Gadis itu diam lagi sejenak, memikirkan sesuatu. “La, kakak jadi berangkat lusa. Ada yang harus diurus lebih cepat di kedutaan sana. Kamu baik-baik ya di sini.”

Nila menatap sahabatnya dengan mata berkaca-kaca. Setelah sekian lama, lusa mereka harus berjauhan karena Rena mendapat kesempatan dalam program aiesec dari kampus. Sontak ia langsung memeluk Rena.

“Kakak juga hati-hati disana. Sering-sering angkat telpon aku ya, kak. Kalau nanti Nila lupa bumbu tumis kangkung, Nila nanya ke siapa kalau bukan ke kakak?” ucapnya dengan nada sendu.

Rena tertawa untuk mencairkan suasana. “Tanya ke ibu, lah. Jangan cengeng. Nila kan udah besar. Nanti kakak kirim pesan terus kok. Kalau telepon roaming terus, kan mahal, hehe. Nila gadis yang cerdas, pasti bisa jaga diri, tau yang baik dan yang nggak baik.”

Sebuah pesan kemudian masuk ke hp Nila. Dari Arya.
Message Received.
“Nila, udah di rumah? Udah makan belum?”

Nila tersenyum. “Dari siapa, La?”

“Kak Arya, hehehe.”

Rena menunduk dan menghela nafas berat, kemudian beranjak bangun dari duduk. Bibirnya membentuk seulas senyum yang tampak dipaksakan.

“Lagi kasmaran nih ceritanya? Kalau udah ganti baju, cepet keluar ya. Kakak tunggu di Meja makan.”

Nila mengangguk sebentar, menoleh ke Rena. Lalu kembali fokus ke layar hp.

“Sebentar lagi mau makan. Tadi katanya mau ngomong penting? Ngomong apa Kak?”
Message sent.

“Oh, iya. Nggak ada sih. Tadi kakak sempet lihat kamu di perpustakaan fakultas. Cantik.”

Nila yang masih polos hatinya langsung melambung membaca pesan barusan. Ia tersenyum lagi hari ini, untuk kesekian kalinya.

•••

Enam minggu berlalu sejak pertemuan terakhir Nila dan Rena.

“Fit, Kak Arya kok nggak permah bales pesan aku lagi ya ….” Selain ke Rena, Nila selalu menceritakan hal apa saja pada sahabat dekatnya di kelas, Fitri.

Fitri menatap aneh ke Nila. “Kenapa ditunggu banget?”

“Ya kan biasanya setiap hari gitu dia kirim whatsapp. Sekarang aja jangankan bales, aku telpon aja sibuk terus.”

“Mungkin dia bener-bener mau serius ke Kak Rena. Lagian, kok kamu sering banget akhir-akhir ini ada agenda bareng Kak Arya, La?” Fitri mengalihkan pandangannya dari kertas-kertas tugas di meja kelas. Ia menatap Nila lekat.

“Serius gimana, Fit?”

“Emang kamu nggak tau? Masa nggak kebaca sih, La. Dari semester awal Kak Rena sama Kak Arya tuh udah saling nyimpen perasaan. Cuma nggak terlalu ditunjukin aja. Malu katanya.”

Nila sontak beringsut dari tempat duduknya. Sebuah perasaan aneh kembali menyergap. Kali ini lebih kuat. Rasanya seperti ada dua bola besi jatuh bersamaan dari atas jantungnya.

“Fit, aku pulang duluan ya, ada sesuatu urgent.” Nila beranjak pergi dari bangkunya. Meninggalkan Fitri yang hanya melihat dengan tatapan penuh kebingungan.

Tiga puluh menit kemudian, Nila masih duduk di bangku taman kota. Ia belum jadi pulang. Lima menit ini, gadis itu menatap layar handphonenya dengan perasan gelisah. Lima menit lainnya, pandangannya beralih ke daun-daun yang berguguran. Begitu terus sampai belasan menit setelahnya.

Biasanya, melihat daun-daun itu adalah obat paling baik setiap Nila sedang gelisah. Tapi kali ini hatinya terasa benar kacau. Pesan yang masuk sejak lima belas menit lalu itu hanya dibacanya tanpa tahu harus membalas apa. Pesan yang sudah lama ia tunggu-tunggu namun malah didiamkan saja. Ia benar-benar tak tahu harus bagaimana.

“Nila. Maaf. Kakak cuma nggak mau kita tau hal ini salah, tapi masih tetap dijalankan.” begitu isi pesan yang diterimanya dari kontak Arya.
Ia teringat lagi ucapan Arya dua hari lalu. Pesan panjang itu berputar riuh lagi di kepala Nila.

Assalamu’alaikum, Nilam Putri yang luas hatinya. Bersama surat ini teriring ucapan maaf yang sebesar-besarnya karena telah mengambil hati namun belum juga dikembalikan. Tak sengaja hati itu sudah aku hilangkan, entah di mana. Semoga segera engkau temukan. Nila yang ranselnya berat. Semoga permasalahan kita tidak menambah berat beban kehidupan. Semoga melepaskan tak seberat penerimaan . Semoga menghapus kenangan tak seberat memaafkan. Nila yang hatinya lembut. Mohon maaf bila dulu pernah berlebihan dan khilaf terbawa perasaan. Mohon maaf bila kebaikan-kebaikan yang aku berikan terkadang berlebihan. Mohon maaf bila sejak lama terkadang aku menghindar dan tak membalas pesan. Karena sebenarnya, sejak lama ada hati yang merasa kesakitan melihat kita berhubungan.

Salam.

Arya.

Iya. Awalnya Nila tidak mengerti, namun setelah kini semuanya jelas. Ia begitu menyesal. Setelah didapati sebuah pesan panjang Arya yang berhasil menguras linang-linang air pecah pada matanya, dan perkataan Fitri tadi pagi. sore ini Nila memutuskan untuk menelepon sahabatnya.

“Assalamualaikum, Kak Rena?” Nila berusaha berhati-hati sekali sejak salam pertama.

“Waalaikumussalam. Ada apa La?” Suara manis nan anggun itu selalu terdengar enak ditelinga. Bahkan via telepon sekalipun. Seperti sekarang ini.

“Kak.. Nila minta maaf.”

“Ada sesuatu, ya, Nil? Nila kenapa? Bukannya lebaran kemarin kita sudah saling memaafkan, ya? Kata Nila kemarin duo malaikat Roqib-Atid bilang ke Nila kalau Kakak sama Nila sudah kosong-kosong kan? Bila nggak ada salah lagi kok.”

“Kak. Nila minta maaf. Nila nggak tau kalau selama ini Kak Rena dan Kak Arya. Nila menjeda. Ragu ingin berkata. Tapi Nila tau, pasti Rena sudah memahami ini.”

Dheg

“Nggak, Nila. Kakak udah nggak ada apa-apa sama Arya.”

“Kak. Kakak dulu bilangnya nggak ada apa-apa. Tapi ternyata ada apa-apa. Kak, Nila sekarang merasa menjadi perempuan yang paling salah sedunia. Maaf, ya, Kak. Nila nggak tau. Nila menyesal.”

“Yaampun, Nila, kamu sepolos ini, ya..Memang udah enggak, Nila. Udah, ya. Jangan bahas ini lagi. Semua sudah berakhir.”

“Kata Kak Arya, Kakak sama Kak Arya ada suatu rencana gitu, terus memutuskan buat nggak dilanjutin. Pasti gara-gara Nila, kan, Kak? Maaf, ya, Kak.” Nila masih merasa bersalah.

“Kok Nila tau?
Semua sudah berakhir, Nila. Arya sendiri yang bilang ke Nila kan, kalau rencananya kami nggak akan dilanjutin lagi? Kalaupun Kakak sakit hati, itu bukan karena Nila. Kan Nila tau sendiri dia pandai banget bermain kata. Terutama ke lawan jenis. Salahnya dia dibagian itu. Sudah, ya. Nila jangan merasa bersalah lagi. Kakak sudah nggak apa-apa.” Rena berusaha menenangkan Nila.

Nila tak pernah sampai hati menyalahkan Arya. Nila yakin Arya orang baik. Baik sekali. Arya hanya nggak tegaan. Tapi memang, nggak tegaannya yang kebangetan. Dan akhirnya runyam kalau sudah berurusan dengan perempuan. Apalagi Arya memang pintar berkata manis. Meskipun Nila tau, dia juga pernah terjebak dalam lingkaran kerunyaman itu. Bisa jadi sekarang masih ada teman-teman perempuannya yang masih terbawa perasaan. Jadi wajar saja Rena cemburu. Arya itu manusia yang pengetahuan umumnya tinggi, tapi sayangnya Arya tak tau tentang pengetahuan umum yang satu ini: bahwa perempuan itu cemburuan.

“Tapi Nila belum lega kalau hubungan Kak Arya sama Kak Rena nggak dilanjutin. Nila maunya Kak Arya sama Kak Rena. Meski Bila nggak semendadak itu menerima dan mengikhlaskan, Kak. Kita sama-sama perempuan, kan, Kak?”

“Udah Kakak bilang kan, La. Memang dianya yang nggak mau lanjutin rencana kami? Dia punya alasan sendir. Kalau dipaksaian malah deritanya nggak selesai-selesai. Kata Cupatkai. Hahaha.” Rena berusaha mencairkan suasana.

“Tapi kan, Kak Kak, Nila pengen nangis.. Suara Nila tercekat. Sudah tak mampu lagi berkata-kata. Untuk urusan seserius ini, ia samasekali tak bisa cair.

“Nila jangan nangis. Kakak jadi ikut sedih. Kakak mau peluk. Tapi Kakak jauh. Duh. Maaf ya.. Udah, Nila jangan nangis. Kalau Nila mau bilang sesuatu, bilang aja. Kakak siap mendengarkan.” Rena tau, ada yang ingin Nila katakan, tapi tak ada keberanian.

“Nila bingung mau bilang darimana, Kak. Nila memang sakit hati. Tapi Kakak pasti lebih sakit hati, kan? Kakak bilang dong ke Nila kalau Kakak sakit hati.. Nila nggak mau bilang apa-apa, Kak. Kakak aja yang bilang. Nila mau dengerin.”

Nila hanya tak pernah tahu, Arya dan Rena tak melanjutkan rencana-rencana itu karena mereka sama-sama lelah. Arya lelah dicemburui-dan dicurigai. Rena lelah cemburu. Arya dan Rena memang tak pernah ada hubungan apa-apa. Mereka hanya saling berjanji untuk merencanakan masa depan. Salahnya Rena adalah, ia terlalu berharap ke Arya.

Karena memang; berharap kepada manusia, sakitnya ke seluruh tubuh.

Nila tau, ada yang belum selesai dalam diri Rena. Rena seperti, masih menyayangi Arya. Bahkan entah kenapa Nila seolah menjadi barisan terdepan pendukung Arya dan Rena untuk bersatu.

Karena perempuan tetaplah perempuan. Wajahnya saja tampak tenang, di dalam hatinya riuh memberontak. Untuk melepaskan, menerima dan mengikhlaskan tak bisa semendadak itu.

Kenapa sih, Kak Rena nggak sama Kak Arya aja? Kenapa mereka berdua harus berakhir? Kalaupun Kak Arya berpikir tak mau menyakiti aku atau mungkin perempuan lain lagi, lebih baik satu hati yang tersakiti kan? Daripada tiga-tiganya tersakiti? Lebih baik aku saja yang tersakiti, kan, daripada akhirnya aku, Kak Arya, dan Kak Rena atau bisa jadi perempuan lain semuanya sakit hati?

Apakah bersatunya dua hati perlu (harus) mengorbankan hati lain?
Nila masih berkecamuk. Ada yang belum selesai. Tapi perlahan ia mengerti. Ada banyak pelajaran yang berhasil ia petik selama beberapa bulan ini.

.

.

Palembang,

bulan-bulan musim hujan 2018.

( Author’s Note:

Cerpen ini adalah hasil kolaborasi bersama seorang teman yang juga punya kesukaan menuangkan pikiran dalam baris-baris kata. Kalau mau baca-baca lebih banyak tulisannya, bisa main kesini www.gandisu.wordpress.com yaa. Banyak cerpen juga, tapi lebih banyak lagi tulisan bagus tentang pemaknaan hal-hal dalam hidup, soalnya, beliau ini lebih expert analisis situasi daripada merangkai diksi manis, hehe.

Semoga ada yang bisa dipetik dari cerita ini yaa teman-teman pembaca.

Warm Regards.

Nisa.)